M Tamzil Didakwa Terima Gratifikasi Rp2,5 M
SEMARANG-Belum genap satu tahun menjabat sebagai orang nomor satu di Kabupaten Kudus, M.Tamzil tersandung kasus gratifikasi yang nilainya mencapai Rp2,5 miliar.
Hal tersebut diungkap Jaksa Penuntut Umum Helmi Syarief dalam dakwaan yang dibacakan saat sidang di Pengadilan Tipikor Semarang, Rabu (11/12).
Helmi menjelaskan, gratifikasi tersebut diterima terdakwa M.Tamzil selama periode September 2018 hingga Juli 2019.
“Gratifikasi pertama, diterima Tamzil sesaat setelah dilantik sebagai bupati pada September 2018,” ungkapnya.
Helmi menuturkan, saat itu M.Tamzil menyampaikan kepada Plt Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Kabupaten Kudus Heru Subiantoko bahwa dirinya membutuhkan uang untuk kepentingan pribadi.
“Atas permintaan Tamzil itu, Heru Subiantoko kemudian menghubungi sejumlah rekanan yang melaksanakan pekerjaan di Kabupaten Kudus,” jelasnya.
Kemudian, lanjut Helmi, Heru Subiantoko menyerahkan Rp900 juta kepada terdakwa M.Tamzil dalam beberapa tahap.
“Uang tersebut digunakan terdakwa membayar utang saat mengikuti pilkada sebesar Rp850 juta, sementara Rp50 juta sisanya digunakan untuk membayar uang pembelian mobil,” katanya.
Helmi mengungkapkan, terdakwa Tamzil juga menyampaikan perihal kebutuhan uang untuk kebutuhan pribadinya kepada Sekda Kudus Samani Intakoris.
Sekda Kudus kemudian menyampaikan permintaan itu kepada Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Kudus Joko Susilo.
Joko Susilo yang menghubungi sejumlah rekanan kemudian menyerahkan uang kepada Tamzil sebesar Rp500 juta.
Dalam uraiannya, jaksa juga menyebut Tamzil menerima gratifikasi dari staf khusus bupati Agoes Soeranto, serta para pegawai Pemerintah Kabupaten Kudus yang dilantik dalam jabatan barunya.
Menurut jaksa, uang yang diterima M.Tamzil yang diduga berkaitan dengan jabatannya sebagai Bupati Kudus tersebut tidak pernah dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi hingga batas waktu yang ditentukan.
Atas perbuatannya, terdakwa dijerat dengan Pasal 12B Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (Ant)