Lima PKL Gelar Tapa Pepe di Depan Keraton
YOGYAKARTA - Sebanyak lima pedagang kaki lima (PKL) di Jalan Brigjen Katamso, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), melakukan tapa pepe di depan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Senin (11/11). Lantaran kios mereka segera dieksekusi Pengadilan Negeri (PN) Yogyakarta.
Pantauan detikcom, kelima PKL mengenakan pakaian adat Jawa berjalan dari utara menuju ke depan pintu gerbang Bangsal Pagelaran Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Sesampainya di depan gerbang tersebut, kelimanya langsung duduk bersila menghadap Keraton.
"Maunya, kita menghadap Sultan. Agar sithik edhing untuk menempatinya. Menempati lokasi itu (kios, red)," ujar seorang PKL, Sugiyadi, (53). Mereka menggunakan pakaian adat Jawa dan menggelar tapa pepe di depan gerbang Bangsal Pagelaran Keraton.
Dirinya telah berjualan bakmi di sana selama 20 tahun. "Tidak ada mata pencaharian yang lain, Mas. Hanya ada itu. Dan itu juga peninggalan orang tua," ucapnya. PN Yogyakarta rencananya mengeksekusi besok (Selasa, 12/11).
Terpisah, kuasa hukum Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Achiel Suyanto, mengklaim, telah mendapatkan informasi eksekusi lahan dan bangunan PKL. Pihaknya pun mempertanyakan rencana tersebut.
"Kita pun besok dari Keraton akan mempertanyakan yang mau dieksekusi apanya? Kalau tanah, kan, tanah tidak bersengketa. Yang bersengketa itu haknya," katanya.
"Yang disengketakan itu penghunian oleh para PKL di depan tempatnya orang yang punya kekancingan, si Eka. Berarti haknya, kan, itu? Bukan tanahnya. Kalau tanahnya, milik SG (Sultan Ground). Jadi, pengadilan berlebihan," lanjutnya.
Kasus berawal dari perebutan hak pemanfaatan lahan. Antara PKL dengan pemilik surat kekancingan, Eka Aryawan. Eka ingin tanah kekancingan di depan rukonya bersih dari PKL. Karena hendak dibangun akses jalan menuju garasi.
"Tahun 2010 itu, kita mengajukan surat kekancingan (ke Panitikismo). Tapi, bilangnya sudah tutup. Tapi dari pihak yang menggugat (Eka), itu tahun 2012 kekancingan keluar. Terus waktu itu, (PKL) dipanggil ke Keraton sampai tiga kali. Tiga kali kami datang. Tapi, dari pihak Eka tidak datang," tutur Sugiyanto.
Berdasarkan keterangan kuasa hukum Keraton, Eka berhak memanfaatkan kekancingan selama satu dasawarsa. Berakhir dua tahun lagi.
Dirinya melanjutkan, Keraton takkan memperpanjang surat kekancingan Eka seluas 73 meter persegi. Jika takmau menghadiri pertemuan.
Namun, Eka menggugat perdata kelima PKL pada 2015. Dia meminta para pedagang mengosongkan lahan. Juga menuntut ganti rugi sekitar Rp1 miliar.
Lantaran kalah, Sugiyanto dan para rekannya balik menggugat Eka hingga ke Mahkamah Agung (MA). Para PKL didampingi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta.
"(Menggugat) karena lokasinya hanya tinggal 28 meter persegi. Sisanya sudah dipotong. Karena terkena kekancingan tadi. Saya juga sudah menempati di luar tanah kekancingan. Terus kesepakatannya, boleh jualan di luar tanah kekancingan," urainya.
Kuasa hukum PKL dari LBH Yogyakarta, Budi Hermawan, menjelaskan, para pedagang telah berjualan di pinggir Jalan Brigjen Katamso sejak 1960. Berdasarkan izin Sri Sultan HB IX.
"Mereka memang tidak punya surat kekancingan maupun tanda bukti. Tapi, mereka membayar pajak dan punya tanda bukti SPPT. Artinya. penguasaan tanah di sana pun dipungut pajak oleh negara," beber dia.
"Bukan hal yang liar pendudukan di sana. Apalagi tahun 2010, mereka sudah berinisiatif mengajukan kekancingan ke Panitikismo. Tapi, hal itu tidak didapatkan. Ditolak saat itu. Karena penerbitan kekancingan sedang dihentikan," imbuhnya.
Budi menambahkan, para PKL berjuang di pengadilan hingga kasasi. Putusannya pada 2018. Akhir tahun lalu, pun terbit penetapan eksekusi.
Dirinya lantas merasa ada yang janggal. Karena eksekusi baru dilakukan jelang akhir 2019. "Rentang waktu cukup lama. Ada apa ini?" tanyanya, mencuplik detikcom.
"Menurut kami, tidak ada pertanyaan hakim yang menyatakan, bahwa 23 meter persegi yang ditempati PKL adalah bagian dari 73 kekancingan Eka. Artinya, (para PKL) tetap di luar. Sesuai dengan perjanjian," tuntas Budi.