Tim Prabowo Ejek Metodologi dan Independensi 'Surveyor'
Jakarta - Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mendorong pendedahan terhadap hasil survei. Metodologi yang digunakan, khususnya.
"Metodologi ini sudah kuno. Dengan begitu melimpahruahnya informasi yang luar biasa, tidak ada lagi dominasi informasi," ujar Anggota Dewan Pengarah BPN Prabowo-Sandi, Fadli Zon, di Jakarta, beberapa saat lalu.
Argumen tersebut dilontarkan, lantaran banyak hasil survei sejumlah lembaga yang mengunggulkan petahana. Terakhir Charta Politika. Pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin disebut meraup 53,6 persen. Prabowo-Sandi hanya 35,4 persen.
Wakil Ketua Umum DPP Gerindra ini, lantas mengambil kasus Pemilihan Presiden (Pilpres) Amerika 2016. Kala itu, New York Times sesumbar, Hillary Clinton menang dengan meyakinkan. Meraih 85 persen. "Ternyata, Donald Trump yang menang," ucap dia.
Pun demikian dengan Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2017. Elektabilitas petahana unggul mendominasi hasil survei. Nyaris seluruh lembaga. Faktanya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno sebagai kepala daerah terpilih.
Fadli turut menyoroti independensi dan transparansi lembaga survei. Menurutnya, tak tergambarkan di Indonesia. Justru cenderung menjadi alat kampanye. Padahal, surveyor dan lembaga konsunsultan politik berbeda.
"Kalau lembaga survei berhimpit dengan konsultan politik, maka akan ada conflict of interest. Dia akan menjadikan survei itu sebagai alat propaganda. Alat kampanye dari yang membayar dia," urainya.
Hasil survei empat lembaga lain tak jauh berbeda dengan Charta Politika. New Indonesia Research & Consulting (NIRC), misalnya, mencatat, Jokowi-Maruf 55,8 persen dan Prabowo-Sandi 34,3 persen.
Berikutnya Indo Barometer memprakirakan petahana meraup 50,2 persen suara, SMRC 57,6 persen, dan Alvara Research Center 53,9 persen. Hanya survei Litbang Kompas yang menyimpulkan berbeda. Persentase Jokowi-Ma'ruf di bawah 50 persen.
Juru bicara BPN Prabowo-Sandi, Ferdinand Hutahaean, menambahkan, pihaknya tak teperdaya dengan hasil survei sejumlah lembaga. Lebih berpedoman terhadap hasil penelitian internal menjadi pedoman.
Bukan tanpa dasar penantang petahana bersikap demikian. Salah satunya kredibilitas. "Banyak yang menjadi bagian dari tim sukses," katanya, terpisah.
Tingginya tingkat keterpilihan Jokowi, sebagaimana hasil survei, juga dianggap berbeda dengan bukti empiris. "Elektabilitas jauh di atas. Sedangkan di lapangan sepi-sepi saja," cibir Kepala Divisi Advokasi dan Hukum DPP Demokrat ini.
Akademisi Resah
Sementara, Rektor Universitas Ibnu Chaldun (UIC), Musni Umar, mengaku, resah dengan dengan maraknya survei nirtransparan. Baik metodologi maupun pendanaan.
Menurutnya, banyak survei memanfaatkan metodologi guna mengarahkan responden memilih sesuatu yang telah diatur. Meski data yang didapat berasal dari hasil wawancara.
"Fenomena yang kita saksikan di saat kampanye dengan hasil wawancara saya dengan masyarakat itu, sama sekali tidak tecermin dari hasil survei yang ada," ucapnya.
Hasil survei juga dianggapnya bias. Tidak mandiri. Apalagi, bila sumber pembiayaannya masih misterius. "Dia akan mengikuti yang mendanai," pungkas dia.