Poin krusial hasil TWK KPK: Anti-Pancasila dan tolak FPI bubar
Sebanyak 51 dari 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) gagal tes wawasan kebangsaan (TWK) tidak bisa menjadi aparatur sipil negara (ASN). Poin krusial dari hasil tes adalah ketika mereka mengakui setuju Pancasila sebagai dasar negara diganti.
Anti-Pancasila menjadi salah satu indikator yang membuat pegawai KPK mendapat label merah sehingga tak layak menjadi abdi negara. Masih ada delapan indikator lain, seperti menolak kebijakan pemerintah membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI), kelompok radikal, atau kelompok pendukung teroris.
Menurut pakar hukum Universitas Al Azhar Indonesia (UAI), Suparji Ahmad, kesalahan tersebut tergolong menentukan. "Tes wawasan kebangsaan yang berkaitan dengan pilihan persetujuan Pancasila diubah dan tidak setuju pembubaran FPI dan HTI itu memang cukup krusial," katanya, Selasa (8/6).
Dengan demikian, sambung dia, penilai TWK berhak tidak meloloskan mereka. Dalihnya, FPI dan HTI telah dianggap menjadi ormas terlarang.
"Kalau pendapatnya sudah begitu, maka asesor memang punya pendapat menganggap wawasan kebangsaannya tidak bisa dibina," jelasnya.
Karenanya, Suparji beranggapan, narasi yang menyebut TWK sebagai akal bulus Ketua KPK, Firli Bahuri, untuk menyingkirkan beberapa orang sukar dibuktikan. "Karena memang ada mekanisme yang dilaksanakan."
Meski demikian, narasi itu berkembang masif dan telah memengaruhi sebagian publik. Jika proses dan hasil TWK terus dijadikan polemik, baginya, akan berdampak pada upaya KPK menuntaskan sejumlah perkara besar.
"Keraguan tentang akan selesainya perkara-perkara besar juga akan terjawab di masa-masa yang akan datang. Tapi mengingat polemik yang terjadi berkepanjangan seperti ini, akan mengendap perkara besar atau dengan kata lain tidak akan bisa tuntas secara cepat," tandas Suparji.