Perpres 7/2021 dianggap perkuat penanganan terorisme
Terorisme, ekstremisme, dan radikalisme merupakan fenomena lama yang rumit dan dilatarbelakangi berbagai faktor. Karenanya, penanganannya butuh kerja sama semua pihak. Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2021 menjadi payung hukum untuk memperkuat koordinasi sehingga penanganan lebih efektif.
Perpres 7/2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstermisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme Tahun 2020-2021 diharapkan memperkuat upaya-upaya penanganan terorisme, ekstremisme, dan radikalisme dari hulu ke hilir.
Ada dua dasar dikeluarkannya perpres tersebut. Pertama, semakin meningkatnya ancaman ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme di lndonesia menciptakan kondisi rawan yang mengancam hak atas rasa aman dan stabilitas keamanan nasional.
Kedua, diperlukan strategi komprehensif untuk memastikan langkah yang sistematis, terencana, dan terpadu dengan melibatkan peran aktif seluruh pemangku kepentingan dalam penanggulangan ekstremisme berbasis kekerasan.
Direktur Penegakan Hukum Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Brigjen Edy Hartono, mengatakan, Perpres 7/2021 menyatukan semua program penanganan masalah terorisme, ekstremisme, dan radikalisme di semua kementerian/lembaga. Sinergi seluruh pihak akan menjalankan tiga pilar, yakni pencegahan, penegahan hukum, dan kerja sama nasional dengan 130 rencana aksi.
Selama ini, masing-masing instansi memiliki program pencegahan terorisme, ekstremisme, dan radikalisme. Dicontohkannya dengan program moderasi agama oleh Kementerian Agama (Kemenag). Esensi program ini menjaga martabat kemanusiaan serta membangun masyarakat umum dengan prinsip keadalian sesuai norma agama dan sosial.
Sementara itu, Polri membuat program polisi masyarakat untuk menekan berkembangnya proses radikalisasi di masyarakat. Apalagi, kelompok ekstrem kini menyampaikan narasi mereka melalui media digital.
Dengan adanya Perpres 7/2021, Program-program pencegahan berkembangnya terorisme, ekstremisme, dan radikalisme yang dilakukan semua kementerian/lembaga akan semakin kuat dan terukur.
"Perpres ini menyinergikan program kementerian/lembaga untuk bersama menanggulangi terorisme sejak hulu. Jadi bukan untuk mengekang," katanya dalam webinar yang digelar Moya Institute bertema "Pemberantasan Ekstremisme-Terorisme Pasca-Perpres Nomor 7 Tahun 2021".
Dia melanjutkan, norma baru mengatur banyak hal, seperti definisi terorisme, pelibatan TNI dalam mencegah terorisme, dan pemulihan korban. Kemudian, latihan fisik tanpa senjata dengan tujuan terorisme terancam dipidana. Dalam konteks pencegahan, Perpres Nomor 7 akan semakin memperkuat.
Edy menambahkan, lebih dari 2.000 orang ditangkap karena tindak pidana terorisme setelah reformasi di tahun 2000-an,. Hal itu mengubah strategi kelompok ekstrem dan radikal dalam menjalankan aksinya. Karena itu, strategi pencegahan pun harus berubah.
Setelah reformasi, kelompok ekstrem dan radikal yang cukup kuat ada Jemaah Islamiyah (JI) yang berafiliasi dengan Al-Qaeda, Jamaah Ansharut Daulah (JAD) terafiliasi dengan ISIS, serta kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT).
Pemerintah sudah menetapkan JI dan JAD sebagai organisasi terlarang. Sudah banyak tokoh kedua organisasi itu ditangkap. Namun, penyebaran paham mereka tidak putus.
"Mereka terus melaksanakan dakwah, menyebarkan paham radikal dan terorisme. Mereka juga memperbarui pedoman umum dan strategi operasi. Bagaiamana cara menghindar dari kejaran aparat sampai mereka merekrut seksi pendanaan. Terkahir terungkap kotak amal sebagai modus pendanaan," ujar Edy.
Pada kesempatan sama, cendekiawan muslim, Azyumardi Azra, mengatakan, teror dan radikalisme merupakan fenomena lama, rumit, serta antara satu faktor dengan yang lain saling berkaitan. Satu aksi tidak berdiri sendiri. Biasanya terhubung faktor lain. Sejarahnya panjang, menyangkut berbagai agama dan permasalahan sosial, politik, dan ekonomi.
"Yang paling penting, menurut saya, kesenjangan ekonomi sosial yang mengakibatkan muncul kelompok marjinal di masyarakat. Ada juga faktor politik internasional, terutama di Timur Tengah dan dalam negeri," ujarnya.
Azyumardi menilai, boleh jadi pergerakan ISIS sekarang melangkah mundur, tetapi tidak pada idenya. Pengikutnya pun tak menjadi hilang apalagi berbaiat ke ISIS sekarang bisa melalui media sosial.
Menurut dia, kita tidak bisa mengharapkan kelompok ekstrem dan radikal hilang karena sumbernya masih ada. Selama masih ada gerakan yang mengatasnamakan Islam, selama itu pula akan ada orang terpengaruh.
"Perpres Nomor 7 ini relevan dan dibutuhkan karena kita tidak bisa berharap sel terorisme hilang. Buktinya ISIS kalah beberapa tahun ini, tetap saja selnya ada di Indonesia. Penanganan terorisme perlu melibatkan seluruh masyarakat dan kementerian/lembaga. Jadi, tidak bisa hanya dilakukan Densus dan BNPT," paparnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Moya Institute, Hery Sucipto, mengatakan, masyarakat seharusnya bersyukur karena Indonesia terdiri dari beragam suku, agama, dan budaya. Semua perbedaan itu mestinya menjadi penguat dalam kebhinekaan.
Berbeda dengan kondisi di Timur Tengah. Latar belakang masyarakatnya tidak ada perbedaan. Watak masyarakatnya pun keras. Karenanya, Timur Tengah mudah terjadi konflik.
"Indonesia yang beragam bisa bersatu, tapi kita tidak boleh lengah karena ancaman apa pun bisa terjadi," ujar Hery.