Obral Proyek, Analis: Pemerintah Abaikan Beban Utang
Jakarta - Pemerintah dianggap mengacuhkan beban utang. Sebab, gencar menawarkan beragam proyek terhadap investor. Teranyar, mengobral 28 rencana kerja kala KTT II Belt and Road Initiative (BRI) di Beijing, Cina, April 2019.
"Pemerintah sepertinya abai dengan besarnya beban utang yang ada saat ini. Membuat keseimbangan primer APBN mengalami defisit," ujar analis ekonomi politik Kusfiardi di Jakarta, Rabu (10/4).
Terlebih, tambah dia, pemerintah memanfaatkan utang anyar guna membayar kewajiban lawas yang jatuh tempo. "Apakah pemerintah sengaja mewariskan beban bagi rezim berikutnya?" tanyanya.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan, diketahui menawarkan 28 proyek di Beijing, beberapa waktu lalu. Nilainya mencapai US$91,1 miliar. Setara Rp1.296 triliun.
Sementara, berdasarkan data Bank Indonesia (BI), utang ke Cina melonjak 74 persen pada 2015. Dari US$7,87 miliar menjadi US$13,6 miliar. Nilainya naik di tahun-tahun berikutnya. Pada 2016 sebesar US$15,1 miliar dan US$16 miliar per Januari 2018.
Kusfiardi juga mengingatkan, penawaran proyek tersebut jauh dari pengetahuan publik. Khususnya, implikasi terhadap kepentingan nasional. Contohnya penguasaan sumber-sumber ekonomi dan objek vital, seperti pelabuhan dan bandara.
CO Founder FINE Institute itu, lantas membandingkan dengan sikap beberapa jiran. Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad, misalnya, membatalkan sejumlah proyek guna mengurangi beban utang.
Pun berencana negosiasi ulang proyek Jalur Sutra Maritim Cina, lantaran dianggap tak menguntungkan. "Selain tidak mempekerjakan warga lokal, Cina juga tidak berbagi teknologi dengan Malaysia," katanya.
Malaysia salah satu negara penerima investasi terbesar dari proyek BRI. Cina mengalokasikan US$34,2 miliar guna membangun infrastruktur jalur sutra di sana.
Langkah Filipina seperti Malaysia. Meninjau ulang seluruh kontrak pemerintah. Termasuk pinjaman asal Cina. "Kekhawatiran terbesarnya, adalah China dapat merebut aset Filipina, jika tidak dapat membayar," ungkap dia.
Pemerintah Pakistan, Nepal, dan Myanmar juga membatalkan kontrak proyek infrastruktur dengan Cina. Merujuk Standard & Poor's, rencana kerja BRI merupakan utang konsesi jangka panjang. Memberikan hak pengelolaan hingga 30 tahun kepada korporasi "Negeri Tirai Mambu".
Direktur IMF, Christine Lagarde, sebelumnya sempat mengingatkan ihwal utang tersebut. Dirinya turut mendorong transparansi.
"Lagarde juga mengatakan, 'Utang bukan sesuatu yang gratis'. Utang ini adalah sesuatu yang harus dibayar oleh semua pihak. Bentuk yang harus dibayar itu, bisa sangat memengaruhi kondisi perekonomian nasional sebagai bangsa yang berdaulat," tuntas Kusfiardi.