Mendingan Prestasi Ekonomi Jokowi daripada SBY
Jakarta - Tim Koalisi Nasional (TKN) Joko Widodo (Jokowi)-Ma'ruf Amin menyatakan, pertumbuhan ekonomi pada pemerintahan kali ini lebih baik dibanding periode sebelumnya. Sejumlah indikator buktinya. Pertumbuhan ekonomi ketiga terbesar dibanding negara-negara G20, misalnya.
"Kenapa dibandingkan dengan G20? Karena size ekonominya besar," ujar Direktur Komunikasi Politik TKN Jokowi-Ma’ruf, Usman Kansong, dalam diskusi di Jakarta, Kamis (11/4). Indonesia berada di bawah Cina dan India.
Dia mengingatkan, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mewariskan tren pertumbuhan ekonomi menurun kepada Jokowi. Diterangkannya capaian beberapa tahun terakhir.
Pada 2010 sebesar 6,38 persen. Lalu 6,17 persen di tahun berikutnya. Menjadi 6,03 persen pada 2012. Setahun berselang kembali merosot di angka 5,58 persen. Pada tahun transisi angka pertumbuhan ekonomi 5,02 persen.
"Jadi, memang cenderung turun, tapi setelah itu, ekonomi tumbuh terus. Inflasi terjaga. Daya beli seimbang," ucapnya.
Capaian tersebut buah dari keberhasilan menjalankan sejumlah kebijakan terkait. Program Keluarga Harapan (PKH), misalnya, menjaga stabilitas daya beli.
Pemberian subsidi juga dialihkan. Dari barang ke orang. Sehingga tepat sasaran. Dibandingkannya dengan subsidi bahan bakar minyak (BBM) rezim sebelumnya. Cenderung dinikmati orang kaya.
"Ini yang kami sebut keadilan ekonomi. Kesenjangan ekonomi turun," jelasnya. Raihan tersebut efek program dana desa, PKH, BBM satu harga, hingga program satu juta rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Reforma agraria melalui Program Pendaftaran Tanah Sistemik Lengkap (PTSL), bagi Usman, turut meningkatkan ekonomi masyarakat. Sebab, tanah menjadi salah satu sumber ekonomi.
Dia melanjutkan, Jokowi turut mewujudkan kemandirian ekonomi. Ambil alih saham PT Freeport Indonesia dan Blok Mahakam diklaim sebagai bukti.
Bekas Gubernur DKI Jakarta itu, pun disebut telah membangun pondasi ekonomi. Diwujudkan dengan pembangunan infrastruktur fisik. Sehingga, mendorong konsumsi ke produksi.
"Kalau suatu ketika kita menghadapi pertumbuhan ekonomi luar biasa, kita sudah siap. Tiongkok pertumbuhan ekonomi tinggi, karena pembangunan infrastruktur sangat masif," terangnya mengingatkan.
Dirinya menyebut publik mengapresiasiasi segala kerja-kerja pemerintah. "Tentu ada berbagai persoalan, tapi ini semua akan diperbaiki di periode berikutnya," janjinya.
Sementara, Juru bebat Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Muhammad Iqbal, menilai, Jokowi gagal mewujudkan janji pertumbuhan ekonomi tujuh persen. Dijanjikan bakal diperbaiki oleh jagoannya.
"Pak Prabowo akan mengurangi kebocoran anggaran dan akan meningkatkan pendapatan. Bagaimana kita bebas utang," sesumbarnya.
Menurut dia, masyarakat kini merasakan beban ekonomi. Peluang kerja pun sempit. Iqbal kembali berjanji, "Prabowo-Sandi dalam 100 hari kerja, akan menurunkan tarif listrik, menaikkan daya beli, pendapatan delapan juta ke bawah bebas pajak."
Pada kesempatan sama, pengamat politik Universitas Pelita Harapan (UPH), Emrus Sihombing, berpandangan, politikus kerap menjanjikan "angin surga" yang takterukur. Penurunan angka pengangguran, misalnya.
Dirinya juga melihat, Prabowo-Sandi jangan sekadar mengkritisi. Harus menawarkan loncatan luar biasa yang tidak terpikirkan orang. "Misal, menekan korupsi dengan menarik inspektorat menjadi di bawah presiden," ucapnya mencontohkan.
Patut Disyukuri
Sedangkan pengamat ekonomi Unika Atma Jaya, Rosdiana Sijabat, beranggapan, pertumbuhan ekonomi 5,2 persen pada 2018 patut disyukuri. Tak terlalu buruk, tidak amat sangat baik. Pangkalnya, negara-negara lain mengalami hal serupa.
"Amerika saja pertumbuhan ekonomi 2,9 persen. Singapura tiga persen. Vietnam dan Kamboja mampu mencapai enam persen," ujarnya.
Catatan lainnya ihwal pertumbuhan ekonomi pada era Jokowi, mayoritas positif dibanding negatif. "Ada yang negatif, tapi bukan di fundamental perekonomian," kata dia.
Meski begitu, Rosdiana mengingatkan, pembangunan ekonomi ke depan sangat berat. Dipengaruhi dua faktor. Internal dan eksternal. Pelambatan kinerja ekonomi kawasan, salah satu pemicunya.
"Amerika dan China sibuk perang dagang. Eropa masalah dengan pasar keuangan. Di Asia Tenggara, terjadi pelemahan permintaan barang dan jasa," ungkapnya.
Dirinya mengingatkan, perekonomian global berdampak terhadap kondisi nasional. "Siapa pun nanti yang terpilih akan menghadapi tantangan cukup berat," tandasnya.