'Mencoblos' Lebih Baik Secara Etika dan Moral
Jakarta - Rakyat Indonesia yang memenuhi syarat diimbau tak golongan putih (golput) pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2019. Baik eksekutif dan legislatif. Tanggal 17 April 2019.
Pengamat komunikasi politik Emrus Sihombing menyatakan, satu suara menentukan masa depan bangsa. Hingga lima tahun ke depan. Memilih diklaimnya sebagai landasan etika dan moral dalam mengkritik pilihan di masa mendatang.
"Alangkah baiknya kalau besok, tanggal 17, semua kita datang ke TPS (tempat pemungutan suara) dengan riang gembira menentukan pilihan kita masing-masing," ujarnya di Jakarta, Senin (15/4).
"Walaupun tidak memilih itu hak semua orang, tapi dengan memberikan hak suara, itu lebih baik secara etika dan moral. Dan barangkali nanti mereka akan menyesal, jika tidak memilih," sambung dia.
Sementara, Direktur Rumah Mediasi Indonesia, M. Ridha Saleh, menguraikan, memilih dan dipilih secara bebas merupakan hak konstitusional warga. Diatur dalam UUD 1945 dan Pasal 21 ayat (1) Deklarasi Universal HAM.
"Pasal ini mengandung dua makna eksplisit. Bahwa dalam kehidupan pemerintahan, setiap orang berhak untuk dipilih dan memilih. Kedua subjek tersebut, memiliki posisi yang sama dalam berpartisipasi dalam kehidupan pemerintahan," bebernya.
Konsep tersebut, terang eks-komisioner Komnas HAM itu, mulanya merujuk hak pilih seluruh penduduk. Tanpa memandang status ekonomi. Pertama kali diterapkan Prancis. Pada 1792.
Melalui konsensus politik, negara berwenang mengatur dan membatasi siapa saja yang boleh memilih. Artinya, hak pilih melekat pada setiap orang dan berkorelasi dengan kesadaran dan pengetahuan seseorang.
"Tidak hanya kepada siapa yang dipilihnya. Akan tetapi hal yang lebih penting, adalah ikut serta dalam menentukan masa depan kehidupanya dalam bernegara," ucap Ridha.
Seseorang memiliki hak memilih (right to vote) setelah memenuhi syarat-syarat tertentu. Baik administratif maupun subtantif.
Dalam konteks HAM, tambahnya, hak pilih mencakup dua dimensi. Kekuasaan untuk memilih atau sebaliknya alias golput.
"Terkait dengan hak untuk tidak memilih atau golput, secara politik diberikan arfirmasi, yaitu dikarenakan berbagai alasan idelogis atau kesadaran politik yang melatarbelakangi pemegang hak pilih tersebut," urainya.
Karenanya, negara bertanggung jawab melindungi, memenuhi, dan menghormati. Pun kudu menjamin kebebasan dan kemerdekaan setiap pemilih.
Ridha melanjutkan, negara mesti aktif memfasilitasi dan mengajak warga untuk menggunakan hak pilihnya. Namun, tak boleh mengintervensi rakyat dalam menentukan pilihanya.
Dia mengingatkan, penyelenggara Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) bertugas melaksanakan dan mengawasi "demokrasi prosedural". Juga memastikan warga menggunakan hak pilihnya.
"KPU harus menjamin dan memastikan, bahkan diperintahkan untuk menyediakan aturan dan perangkat teknis, untuk memastikan setiap warga negara, agar dengan mudah untuk menggunakan dan menyalurkan hak pilihnya," katanya.
"Karena hak pilih ini sifatnya istimewa. Maka, hak pilih tidak dapat dibatasi atau dihilangkan karena alasan teknis, seperti waktu atau kendala-kendala teknis lainya, yang menyebabkan hilangnya hak pilih seseorang," tutup Ridha.