Lembaga Kajian Demokrasi Sebut Proses Legislasi Pemekaran Papua Ugal-ugalan
Nasional, Pos Jateng - Direktur Program Public Virtue Research Institute (PVRI), Moh. Hikari Ersada, mengatakan proses legislasi pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) di Papua terlalu terburu-buru. Menurutnya, pembahasan DOB di tengah situasi Papua yang sedang bergejolak justru kontraproduktif terhadap upaya mendorong perdamaian di wilayah tersebut.
Sebelumnya, Komisi II DPR RI telah membentuk Panja untuk mematangkan DOB Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, dan Provinsi Papua Pegunungan. Pembentukan DOB dilakukan dengan alasan mendorong kesejahteraan.
“Revisi kedua UU Otsus (otonomi khusus) Papua dan kebijakan DOB ini telah menimbulkan situasi yang kontraproduktif. Setidaknya dalam bulan Maret hingga Mei saja sudah terjadi 10 demonstrasi penolakan di Papua yang menelan 2 korban jiwa di Yahukimo,” kata Hikari dalam keterangannya kepada posjateng.id, Kamis (23/6).
Hikari menyampaikan, paradigma kesejahteraan yang dipakai pemerintah dalam menentukan DOB Papua terlalu Jakartasentris. Sehingga, proses-proses pembentukan DOB ini terkesan mengabaikan hak-hak dan pandangan Orang Asli Papua (OAP).
“Legislasi ini akan terkesan ugal-ugalan jika terus dipaksakan sebab cenderung dominan dengan paradigma pembangunan yang bersudut pandang Jakarta,” lanjutnya.
Hikari melanjutkan, butuh paradigma yang lebih demokratis dan bijaksana daripada menganggap aspirasi OAP sebagai ancaman instabilitas berupa ancaman teritorial dan eksistensial terhadap persatuan dan kesatuan NKRI.
“Aspirasi dan penolakan OAP terkait DOB harus dipertimbangkan. Paranoia pemerintah pusat yang menganggap aspirasi dan pendapat mereka sebagai ancaman instabilitas teritorial dan eksistensial menjauhkan pemerintah dari upaya menciptakan tata kelola pemerintahan yang demokratis guna mendorong perdamaian dan kesejahteraan Papua,” pungkasnya.
Sementara itu, Perwakilan Petisi Rakyat Papua Sekber Jabodetabek, Nico Sol mengatakan, jika argumen dasar pemerintah pusat dalam membentuk DOB adalah mendorong kesejahteraan, sementara revisi Otsus tidak melibatkan OAP. Ini menunjukkan bahwa kebutuhan dan revisi Otsus tidak berangkat dari kebutuhan OAP.
“Kami orang Papua bingung dengan dalil kesejahteraan yang dimaksudkan oleh pemerintah pusat, sebab pemerintah pusat dan DPR RI melakukan revisi Otsus tanpa melibatkan OAP, dan revisi otsus semata-mata demi memuluskan kepetingan eksploitasi SDA melalui pemekaran di Papua,” ucapnya.
Sol menambahkan, pemerintah seharusnya terlebih dahulu melakukan evaluasi terhadap Otsus alih-alih melakukan kebijakan pemekaran. Menurutnya, otsus dan pemekaran belum terbukti mampu menyelesaikan persoalan-persoalan Papua.
“Selain itu, Otsus hadir sebagai resolusi konflik, sementara cara pandang pemerintah pusat lebih pada kesejahteraan semata, orang Papua membutuhkan pengakuan harkat & martabat, bukan pembentukan DOB. Sebab kesejahteraan akan berhasil ketika adanya penegakan HAM di Tanah Papua,” katanya.