Fahri Hamzah: Demokrasi di Indonesia masih gamang
Bangsa Indonesia kerap menggaungkan penegakan demokrasi dalam kehidupan sistem politiknya. Namun, justru kontradiksi dengan cita-cita yang diinginkan tersebut pada pelaksanaannya.
"Iklim demokrasi kita nyatanya masih tampak buruk, seperti karena penerapan UU ITE. Belum lagi masalah adanya dinasti politik, perdebatan revisi UU Pemilu, tingginya korupsi," kata Direktur Eksekutif Moya Institut, Hery Sucipto, saat mengantarkan arah webinar "Partai Politik dan Tantangan Demokrasi Terkini", Kamis (11/2).
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Partai Gelora Indonesia, Fahri Hamzah, menilai, pelaksanaan demokrasi dan politik di Indonesia masih kental kegamangannya. Akibatnya, menimbulkan kebingungan dalam masyarakat.
"Indonesia ini masih bangsa yang mengedepankan simbolik saja. Tidak dapat membedakan mana yang citra (pencitraan) dan riil kerja. Katanya memerlukan kritik, tapi orang yang mengkritiknya ditangkap," ucap Fahri.
Kekurangan lainnya, sambung bekas Wakil Ketua DPR ini, masih tingginya membuat konsep besar kebangsaan sehingga perjalanan sejarah politik dan kepemimpinan kerap tersasar.
"Paling gampangnya ingin membentuk akhir dari republik ini saja tidak tampak nyata, sehingga mudah tersasar," kritiknya.
Sedangkan Juru bicara Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Faldo Maldini, menyatakan, dirinya gusar apabila negara ke depannya terjebak dalam jeratan pendana karena partai politik (parpol) dan kadernya tak mampu selesaikan masalah di masyarakat.
"Ketika negara tidak mampu lagi selesaikan masalah, maka pendana tinggal kucurkan anggarannya sehingga negara tak dapat melepaskannya," ujarnya.
Pada kesempatan sama, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI), Djayadi Hanan, menyampaikan, parpol berperanan menjadikan demokrasi berkualitas. Karenanya, ia mesti berhubugan erat dengan masyarakat dalam pikiran serta kebijakan.
"Negara harus tanggap terhadap persoalan masyarakat. Partai politik bagi masyarakat adalah jembatan aspirasi," imbuhnya.
Terakhir, pengamat politik internasional sekaligus mantan Diplomat senior, Imron Cotan, mengutarakan, Indonesia dari waktu ke waktu membutuhkan reformasi. Kendati begitu, ada kegamangan yang muncul.
"Masalahnya, reformasi yang terjadi tidak merumuskan kontrak sosial baru, akhirnya ada kegamangan dalam kebangsaan kita," ungkapnya.
Dirinya menyarankan dibuat konsep tatanan baru dalam reformasi yang sesuai dengan Pancasila agar kegamangan tersebut sirna.