DPR: Tidak ada alasan meragukan hasil investigasi Komnas HAM
Komnas HAM dianggap telah bekerja profesional dalam menginvestigasi kematian enam anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI). Hasilnya, tidak ada pelanggaran HAM berat dalam peristiwa tersebut.
Anggota Komisi III DPR, Taufik Basari, mengatakan, Komnas HAM melakukan investigasi yang mendalam, hati-hati, cermat, dan menggunakan pendekatan saintifik. Publik sepatutnya memberikan mengapresiasi.
Dengan segala keterbatasan, baginya, Komnas HAM berhasil mengumpulkan barang bukti dan keterangan yang cukup lengkap. Meminta pendapat ahli atas bukti dan keterangan yang dimiliki sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan, baik secara hukum maupun akademik, karena sudah tepat metodologinya.
"Sehingga, tidak ada alasan untuk meragukan hasil investigasi tersebut," katanya saat dihubungi wartawan, Jumat (29/1).
Meski demikian, politikus Partai NasDem ini menilai, investigasi tersebut perlu ditindaklanjuti oleh Polri mengingat keterbatasan wewenang Komnas HAM.
"Karena bukan pelanggaran HAM berat sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, sehingga bukan menjadi yurisdiksi Pengadilan HAM melainkan yurisdiksi pengadilan negeri," paparnya.
Taufik menjelaskan, pelanggaran HAM berat dalam Pasal 7 UU 26/2000 meliputi genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Sedangkan Pasal 9 merumuskan unsur-unsur kejahatan kemanusiaan yang rigid dan limitatif, seperti ada unsur meluas atau sistematik. Komnas HAM dianggap merujuk regulasi itu.
"Kategori pelanggaran HAM berat sebenarnya mengarah kepada apakah suatu peristiwa pelanggaran HAM masuk ke dalam yurisdiksi Pengadilan HAM sesuai Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 atau tidak, bukan apakah suatu peristiwa merupakan pelanggaran HAM yang ringan atau yang berat. Ini yang seringkali menimbulkan kesalahpahaman," ungkapnya.
Baginya, tidak ada istilah pelanggaran HAM ringan. Pelanggaran HAM tetap pelanggaran HAM. Disebut sebagai pelanggaran HAM yang berat hanya untuk melihat apakah masuk ke dalam yurisdiksi Pengadilan HAM sesuai UU 26/2000.
Dirinya melanjutkan, ketentuan tersebut mengadopsi definisi yang termuat dalam Statuta International Criminal Court (ICC) atau Statuta Roma yang kala itu dibuat dalam rangka menghindari kasus Timor Timur 1999 dibawa ke pengadilan internasional. Namun, ada penerjemahan yang tidak tepat.
"Gross violation of human rights diterjemahkan sebagai pelanggaran HAM yang berat padahal mestinya pelanggaran berat HAM, akhirnya banyak orang menyangka ada pelanggaran HAM yang berat dan ada yang ringan padahal tidak begitu," tuturnya.
"Dalam peristiwa KM 50 Karawang, Komnas HAM tegas menyatakan, peristiwa tersebut adalah pelanggaran HAM. Namun, tidak termasuk kategori pelanggaran HAM berat menurut UU," imbuhnya.
Di sisi lain, Taufik merespons positif janji Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo, saat fit and proper test di DPR, yang bakal menindaklanjuti rekomendasi Komnas HAM.
Mengenai penyebaran opini, pendapatnya, tidak perlu sampai diproses hukum sepanjang pendapat itu tidak disertai manipulasi fakta dan fabrikasi bukti. Sebaiknya dibatasi, dilakukan bantahan, serta klarifikasi yang jelas dan bernas.
"Jika penyebaran informasinya bukan merupakan pendapat melainkan sengaja dilakukan dengan memanipulasi fakta dan menciptakan berita bohong atau hoaks, maka dapat dilakukan tindakan penegakan hukum," tegasnya.
Tobas, sapaannya, menyatakan demikian lantaran penyebaran opini yang mengandung disinformasi merupakan upaya untuk menarik simpati kelompok tertentu dan membangun ketidakpercayaan kepada institusi hukum, termasuk Komnas HAM.
"Menurut saya, penyikapannya adalah pelurusan informasi dan memberikan penjelasan dan bantahan terhadap informasi-informasi yang keliru tersebut. Tidak perlu reaktif dan memberikan respons berlebihan, cukup dengan melakukan edukasi publik dengan penjelasan yang lengkap dan mudah dipahami," tuntasnya.