Dalih Wiranto Tak Ambil Alih Pemerintahaan pada 1998
Yogyakarta - Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Wiranto, menyatakan, berkesempatan mengambil alih kepemimpinan negara saat krisis 1998. Kala itu, dia menjadi Panglima ABRI (Pangab) sekaligus Menteri Pertahanan dan Keamanan (Menhankam).
"Sebenarnya bisa. Bisa sekali, karena sudah Menhankam/Pangab, keadaan semrawut, saya punya kemampuan, punya kewenangan karena Inpres 16 itu memberi kesempatan kepada Panglima ABRI untuk mengambil kebijakan tingkat nasional," ujarnya di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Sabtu (3/11).
Menurut mantan Ketua Umum DPP Partai Hanura ini, akan terjadi perpecahan kalau dirinya mengambil alih pemerintahan. Hal tersebut, berdasarkan hasil diskusi dengan stafnya.
"Saya hadap staf, tanya, 'Kalau saya ambil alih, risikonya apa? Korban berapa kira-kira, kalau kita bersihkan (demonstran di) DPR-MPR?' Kita hitung perkiraan jumlah korban berapa, ada ilmunya di dunia militer," bebernya.
"Kira-kira 200-250 mahasiswa akan mati. 'Masya Allah,' saya bilang, gitu. Empat aja ribut, ada 200 bagaimana? Pecah Indonesia," imbuh dia.
Atas pertimbangan tersebut, Wiranto berdalih, dirinya memilih menghantarkan pergantian kepala pemerintahan dan negara kepada BJ Habibie, Wakil Presiden kala itu. "Ini pembelajaran dalam politik. Tidak boleh brutal, harus rasional," tutup Wiranto.