Direktur Eksekutif Jaringan Moderat Indonesia, Islah Bahrawi, mengatakan, semua kegiatan radikalisme yang mengarah ke ekstrimisme lalu berbentuk terorisme diawali dari sikap-sikap intoleransi. Karenanya, intoleransi dengan radikalisme bukan irisan yang berbeda melainkan saling menopang.
Karena intoleransi itulah yang membentuk radikalisme. Kalau sudah terbentuk radikalisme, terbentuklah ekstrimisme. Kalau ekstrimisme yang terbentuk, kemudian berbentuk terorisme pada tataran terakhir nantinya. Ini yang harus kita pahami dulu, katanya kepada wartawan, Ahad (20/12).
Dirinya juga sependapat dengan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, yang mengelompokkan tiga kriteria radikalisme di Indonesia. Ketiga kelompok tersebut berupa intoleransi, melakukan aksi teror, dan menyusup ke dalam berbagai institusi.
Memang pernyataan Pak Mahfud ini tidak ada salahnya. Tapi, sebenarnya intoleran dengan radikalisme ini adalah proses yang saling terkait dan bukanlah irisan yang berbeda memang, jelasnya.
Islah menambahkan, radikalisme sudah menjadi polemik sejak dulu sekalipun definisi tentangnya, ekstrimisme, dan terorisme di seluruh dunia simpang siur. Dicontohkannya dengan berbedanya definisi yang dirumuskan para ahli, seperti Daniel Kohler, Syaikh Usamah, Habib Ali Al-Jufri, dan Scott Atran.